Saturday, September 29, 2012

TUBUH DAN MANIPULASI IDENTITAS


Aku sering melukai tubuhku sendiri dengan pisau. Tubuhku selalu penuh sayatan ketika kepalaku mulai pusing. Melihat darah yang mengalir membasahi tanganku adalah obat terbaik untuk meredakan sakit kepalaku. Aku suka menyayati tubuhku. Aku suka kesakitan.
Aku tak pernah ingin menyakiti orang lain. Aku bahkan tak tega membunuh seekor nyamuk yang perutnya mulai menggembung usai menggigitku. Tapi aku suka menyakiti tubuhku. Dan menyiksa diriku. Sakit adalah kenikmatan dan menyakiti orang lain adalah kesalahan. Oleh karena itu aku tak ingin menyakiti orang lain selain: AKU.


Aku sakit bipolar. Aku bisa tertawa dan menangis dalam tempo yang bersamaan tanpa orang tahu apa yang sebenarnya sedang aku rasakan. Apakah gembira atau terluka. Tapi aku selalu menikmati saat-saat membohongi semua orang. Berpura-pura ceria namun batin penuh luka.
Ritusku setiap malam saat phobiaku tiba-tiba merasuk adalah meringkuk di sudut kamar lalu mulai membenturkan kepalaku ditembok. Kemudian mulai menggoreskan pisau di sekujur tubuh, hingga lantai kamarku penuh darah. Lagi-lagi semua itu teramat menggembirakan untukku.
Bipolar ini sungguh menyiksa. Kepalaku teramat sakit hingga membuatku sering pingsan jika aku tak mampu melampiaskan emosiku. Semua terjadi karena trauma masa kecil. Trauma yang sulit aku ungkapkan pada siapapun bahkan tak ada rasa percaya pada orang tua. Menyimpan semua seorang diri dengan tetap membohongi publik; aku baik-baik saja.
Kebohongan bukan masalah yang besar karena setiap orang pasti pernah berbohong. Aku menyimpan rapat-rapat segala trauma yang akhirnya membawa phobia berkepanjangan dan membentukku menjadi pribadi yang ingin dekat dengan kematian.  Aku tak ingin membuka rahasia ini pada siapapun hingga akhirnya tubuhku hampir remuk dengan bekas sayatan dan segala racun serangga, alkohol,  nikotin, dan adiktif yang aku masukkan secara bersamaan ke dalam tubuhku. Aku terkapar.
Anehnya aku selalu lolos dari kematian. Mungkin Tuhan adalah iblis yang selalu ingin mendekatkan aku pada dosa karena dia tahu aku akan terus menyakiti tubuhku dan mencoba mengakhiri hidupku berulang kali jika dia tidak mengambil nyawaku. Namun dengan sengaja ia membiarkanku tetap hidup. Meski berulang kali aku harus membuka mataku setelah berhari-hari tak sadarkan diri di ruang yang serba putih dengan infus menggelantung di sampingku.
Kemudian setelah berulang kali begitu, aku agak sedikit berfikir, Tuhan memang tidak membiarkan aku mati begitu saja. masih banyak hal yang harus aku lakukan untuk meneruskan kehidupan dengan terlebih dahulu melawan segala trauma dan phobia yang menghantuiku. Akhirnya aku melarikan diri pada tumpukan skenario dan puisi lalu lampu panggung yang mulai menyorotku. Aku menemukan kehidupan.
Ketika dialog dan kata-kata  tak menyelesaikan kegelisahanku, aku mulai bergerak. Tubuhku memiliki kata untuk segala hal yang ingin aku kisahkan yang tak mungkin aku wujudkan lewat bahasa. Segala hal kuluapkan dengan tarian dan gerakan. Kegembiraan, gairah, emosi, kuluapkan dalam tarian, termasuk kesakitan.
Jika aku berada dalam puncak ketakutan, aku tak lagi menyiksa tubuhku dengan pisau dan segala sayatan. Tak lagi meracun tubuhku dengan zat adiktif, alkohol, nikotin, racun serangga, dan segala obat-obatan yang tak jelas dosisnya. Kini ku temukan pelampiasan melegakan, semua kulepaskan dengan tarian : Butoh.
Butoh adalah tarian dari jepang yang aku temukan di youtube. Tak sengaja aku menemukannya saat mencari materi gerak untuk performku. Dari butoh aku menangkap eksplorasi tubuh yang begitu menarik. Dimana segala emosi tercurah di setiap gerakan yang tercipta.
Begitu dahsyatnya saat otot-otot kita mengencang lalu kita gerakkan dengan emosi yang kita masukkan kedalamnya. Seluruh otot kita dari jari kaki hingga kepala kita, mulai kita beri ruh melalui rasa yang ada di benak kita. Tubuh akan merasakan ekstase yang luar biasa nikmatnya saat kita mencapai puncak emosi yang kita realisasikan dalam gerak. Ya, aku menyalurkan semua kesakitanku dan emosiku ketika aku menari butoh.

Pensil, Jaring laba-laba, dan Kain Putih
Ibuku selalu berpesan padaku, sebagai seorang wanita kita hanya mempunyai satu kali kesempatan untuk mempertahankan diri sebagai seorang wanita seutuhnya. Jadi, pergunakanlah kesempatan itu sebaik-baiknya kecuali jika kamu ingin dianggap tidak memiliki kehormatan sebagai seorang wanita. Aku jengkel dan sangat tidak setuju dengan pesan yang selalu ia sampaikan padaku itu. Bahkan walaupun aku selalu mendebatnya,ia tetap tak lelah berulangkali mengatakananya sejak aku mendapatkan menstruasi pertamaku hingga sekarang.
Aku selalu membenci ketika ibuku membuat suatu garis pembeda yang tak terlihat namun jelas kentara antara aku dan kakak lelakiku. Pesan itu selalu diucapkannya jika aku mulai dekat dengan seorang lelaki yang sebenarnya hanya sahabatku. Aku jadi merasa selalu dibatasi hanya karena memiliki satu kali kesempatan untuk mempertahankan kehormatanku sebagai seorang wanita. Sedangkan, tak pernah ada aturan bagi kakak lelakiku untuk tertawa terbahak-bahak, berlarian, pulang malam, dan naik sepeda. Sedangkan aku harus selalu dirumah, diantar jemput jika datang ke suatu acara, dan tak punya kebebasan mutlak untuk tertawa terbahak-bahak bersama teman lelaki. Akhirnya kuputuskan untuk mengambil satu kali kesempatan terakhirku agar tak perlu aku mempertahankan diri hanya untuk sekadar menjaga kehormatanku sebagai seorang perempuan.
Aku teringat pesan tambahan dari ibuku yaitu; berikanlah itu untuk orang yang benar-benar berharga bagimu, yang terbaik, dan yang kau sayangi sepenuh hatimu. Lalu aku menemukan jawaban siapa orang yang beruntung itu. Jawabanku, orang itu adalah: AKU.
Tak ada yang lebih berharga bagiku selain aku. Tak ada yang terbaik bagiku selain aku. Dan tak ada yang teramat kusayangi selain diriku sendiri. Jadi, satu kali kesempatan yang indah itu adalah milikku. Hal yang paling berharga bukan untuk diberikan pada orang lain, supaya kita tidak harus merelakan diri untuk selanjutnya dikuasai.
Kuambil pensil, kain putih dan tak lupa kubeli bunga mawar merah kesukaanku. Terkadang untuk hal yang menggembirakan apalagi untuk hal yang memberikan kebebasan aku akan merayakannya bersama mawar. Lalu aku memantapkan diri sambil tersenyum merasakan kemenangan yang mulai tercium sebelum memulai semuanya. Setelah aku merasa cukup hening untuk berteriak menang, ku robek jaring laba-laba di selangkanganku dengan pensil yang selanjutnya kugunakan untuk mengerjakan soal ujian nasional 1 minggu setelahnya. Darah menetes disehelai kain putih yang telah aku siapkan. Tak menyangka segala aturan yang begitu ketat yang harus bertahun-tahun kupatuhi dan benar-benar menjadikanku sebagai gadis pingitan hanya disebabkan oleh beberapa tetes darah ini saja. benar-benar gila.
Aku yakin aku masih memiliki kehormatan dan akan mampu menjaga kehormatan diriku dan keluargaku tanpa jaring laba-laba yang membuatku terpenjara.

Manipulasi identitas
Setelah terbebas dari penjara kehormatan, aku mulai mencoba memberontak untuk tidak mau lagi jadi gadis pingitan. Aku harus melihat dunia dan melakukan apa saja yang ingin aku kerjakan. Walaupun bipolar belum tersembuhkan dan bahkan belum ketahuan kalau ternyata aku salah satu pesakitannya.
Aku mulai merokok untuk memberikan identitas baru bahwa aku bukan gadis pingitan manja yang harus dikawal satpam kemana-mana. Aku mulai sering begadang agar merasakan seperti apa nikmatnya kehidupan malam. Dengan alkohol, ekstasi, dan ganja yang memabukkan aku menemukan identirtas baru yang melegakan sebagai seorang gadis ranum yang memberontak.
Namun keadaan menjadi semakin kacau karena trauma yang aku pendam bertahun-tahun yang tak pernah kuungkapkan pada siapapun, yang aku alami pada masa kecilku, membuatku semakin hanyut dan terlarut pada narkotika, alkohol dan nikotin. Aku kecanduan.
Semua perlahan-lahan mulai menggrogoti tubuh, otakku, dan yang paling parah adalah aku tak lagi punya uang untuk terus menyuplai tubuhku dengan kenikmatan semu saat sakau mulai memaksaku untuk membeli. Aku tak punya apa-apa saat berbohong pada orang tua untuk mendapatkan uang saku tambahan  yang jumplahnya naik lebih dari 100% dari jumlah seharusnya tak dipercaya lagi. Aku hanya bisa berhutang pada teman-teman. Namun, karena lama-lama tak sanggup membayar,aku pun kebingungan. Bahkan dengan tubuh yang semakin kurus mengering dan saku yang kering, aku harus tetap memikirkan cara melunasi hutang-hutangku.
Sempat terpikir untuk menjual diri. Namun, karena tak ingin membentuk identitas baru yang lebih buruk aku tak jadi melakukannya. Kuputuskan untuk berhenti sebagai pecandu meski begitu berat dan terlampau menyakitkan. Lalu aku mulai bekerja part time untuk melunasi hutang-hutangku.
Aku menyadari jalan yang aku pilih untuk memanipulasi identitas sebagai gadis pingitan adalah suatu kesalahan besar. Aku mulai belajar untuk berubah. Segala trauma dan kesakitan-kesakitanku aku terapi sendiri melalui gerak tubuhku. Aku selalu yakin semua orang bisa menari.
Menari adalah wujud kepercayaan diri pada tubuh untuk berbicara lepas bahkan untuk tertawa lalu menangis.
Sekarang aku tak ingin memanipulasi identitasku lagi. Biarlah aku menjadi aku yang apa adanya. Ya, aku perempuan tanpa jaring laba-laba, aku mantan pecandu narkoba, aku bipolar, pemberontak kecil, namun semua itu kini hanya cerita. Sekarang, aku memiliki harapan untuk hidup,  bertahan dan terus  berkarya.
                                                                                    Pati, 29 September 2012




No comments:

Post a Comment