Aku sering melukai
tubuhku sendiri dengan pisau. Tubuhku selalu penuh sayatan ketika kepalaku
mulai pusing. Melihat darah yang mengalir membasahi tanganku adalah obat
terbaik untuk meredakan sakit kepalaku. Aku suka menyayati tubuhku. Aku suka
kesakitan.
Aku tak pernah ingin
menyakiti orang lain. Aku bahkan tak tega membunuh seekor nyamuk yang perutnya
mulai menggembung usai menggigitku. Tapi aku suka menyakiti tubuhku. Dan
menyiksa diriku. Sakit adalah kenikmatan dan menyakiti orang lain adalah
kesalahan. Oleh karena itu aku tak ingin menyakiti orang lain selain: AKU.
Aku sakit bipolar. Aku
bisa tertawa dan menangis dalam tempo yang bersamaan tanpa orang tahu apa yang
sebenarnya sedang aku rasakan. Apakah gembira atau terluka. Tapi aku selalu
menikmati saat-saat membohongi semua orang. Berpura-pura ceria namun batin
penuh luka.
Ritusku setiap malam
saat phobiaku tiba-tiba merasuk adalah meringkuk di sudut kamar lalu mulai
membenturkan kepalaku ditembok. Kemudian mulai menggoreskan pisau di sekujur
tubuh, hingga lantai kamarku penuh darah. Lagi-lagi semua itu teramat
menggembirakan untukku.
Bipolar ini sungguh
menyiksa. Kepalaku teramat sakit hingga membuatku sering pingsan jika aku tak
mampu melampiaskan emosiku. Semua terjadi karena trauma masa kecil. Trauma yang
sulit aku ungkapkan pada siapapun bahkan tak ada rasa percaya pada orang tua.
Menyimpan semua seorang diri dengan tetap membohongi publik; aku baik-baik
saja.
Kebohongan bukan
masalah yang besar karena setiap orang pasti pernah berbohong. Aku menyimpan
rapat-rapat segala trauma yang akhirnya membawa phobia berkepanjangan dan
membentukku menjadi pribadi yang ingin dekat dengan kematian. Aku tak ingin membuka rahasia ini pada
siapapun hingga akhirnya tubuhku hampir remuk dengan bekas sayatan dan segala
racun serangga, alkohol, nikotin, dan
adiktif yang aku masukkan secara bersamaan ke dalam tubuhku. Aku terkapar.
Anehnya aku selalu
lolos dari kematian. Mungkin Tuhan adalah iblis yang selalu ingin mendekatkan
aku pada dosa karena dia tahu aku akan terus menyakiti tubuhku dan mencoba
mengakhiri hidupku berulang kali jika dia tidak mengambil nyawaku. Namun dengan
sengaja ia membiarkanku tetap hidup. Meski berulang kali aku harus membuka mataku
setelah berhari-hari tak sadarkan diri di ruang yang serba putih dengan infus
menggelantung di sampingku.
Kemudian setelah
berulang kali begitu, aku agak sedikit berfikir, Tuhan memang tidak membiarkan
aku mati begitu saja. masih banyak hal yang harus aku lakukan untuk meneruskan
kehidupan dengan terlebih dahulu melawan segala trauma dan phobia yang
menghantuiku. Akhirnya aku melarikan diri pada tumpukan skenario dan puisi lalu
lampu panggung yang mulai menyorotku. Aku menemukan kehidupan.
Ketika dialog dan
kata-kata tak menyelesaikan
kegelisahanku, aku mulai bergerak. Tubuhku memiliki kata untuk segala hal yang
ingin aku kisahkan yang tak mungkin aku wujudkan lewat bahasa. Segala hal
kuluapkan dengan tarian dan gerakan. Kegembiraan, gairah, emosi, kuluapkan
dalam tarian, termasuk kesakitan.
Jika aku berada dalam
puncak ketakutan, aku tak lagi menyiksa tubuhku dengan pisau dan segala
sayatan. Tak lagi meracun tubuhku dengan zat adiktif, alkohol, nikotin, racun
serangga, dan segala obat-obatan yang tak jelas dosisnya. Kini ku temukan
pelampiasan melegakan, semua kulepaskan dengan tarian : Butoh.
Butoh adalah tarian
dari jepang yang aku temukan di youtube. Tak sengaja aku menemukannya saat
mencari materi gerak untuk performku. Dari butoh aku menangkap eksplorasi tubuh
yang begitu menarik. Dimana segala emosi tercurah di setiap gerakan yang
tercipta.
Begitu dahsyatnya saat
otot-otot kita mengencang lalu kita gerakkan dengan emosi yang kita masukkan
kedalamnya. Seluruh otot kita dari jari kaki hingga kepala kita, mulai kita
beri ruh melalui rasa yang ada di benak kita. Tubuh akan merasakan ekstase yang
luar biasa nikmatnya saat kita mencapai puncak emosi yang kita realisasikan
dalam gerak. Ya, aku menyalurkan semua kesakitanku dan emosiku ketika aku
menari butoh.
Pensil,
Jaring laba-laba, dan Kain Putih
Ibuku selalu berpesan
padaku, sebagai seorang wanita kita hanya mempunyai satu kali kesempatan untuk
mempertahankan diri sebagai seorang wanita seutuhnya. Jadi, pergunakanlah
kesempatan itu sebaik-baiknya kecuali jika kamu ingin dianggap tidak memiliki
kehormatan sebagai seorang wanita. Aku jengkel dan sangat tidak setuju dengan
pesan yang selalu ia sampaikan padaku itu. Bahkan walaupun aku selalu
mendebatnya,ia tetap tak lelah berulangkali mengatakananya sejak aku
mendapatkan menstruasi pertamaku hingga sekarang.
Aku selalu membenci
ketika ibuku membuat suatu garis pembeda yang tak terlihat namun jelas kentara
antara aku dan kakak lelakiku. Pesan itu selalu diucapkannya jika aku mulai
dekat dengan seorang lelaki yang sebenarnya hanya sahabatku. Aku jadi merasa
selalu dibatasi hanya karena memiliki satu kali kesempatan untuk mempertahankan
kehormatanku sebagai seorang wanita. Sedangkan, tak pernah ada aturan bagi
kakak lelakiku untuk tertawa terbahak-bahak, berlarian, pulang malam, dan naik
sepeda. Sedangkan aku harus selalu dirumah, diantar jemput jika datang ke suatu
acara, dan tak punya kebebasan mutlak untuk tertawa terbahak-bahak bersama
teman lelaki. Akhirnya kuputuskan untuk mengambil satu kali kesempatan
terakhirku agar tak perlu aku mempertahankan diri hanya untuk sekadar menjaga
kehormatanku sebagai seorang perempuan.
Aku teringat pesan
tambahan dari ibuku yaitu; berikanlah itu untuk orang yang benar-benar berharga
bagimu, yang terbaik, dan yang kau sayangi sepenuh hatimu. Lalu aku menemukan
jawaban siapa orang yang beruntung itu. Jawabanku, orang itu adalah: AKU.
Tak ada yang lebih
berharga bagiku selain aku. Tak ada yang terbaik bagiku selain aku. Dan tak ada
yang teramat kusayangi selain diriku sendiri. Jadi, satu kali kesempatan yang indah
itu adalah milikku. Hal yang paling berharga bukan untuk diberikan pada orang
lain, supaya kita tidak harus merelakan diri untuk selanjutnya dikuasai.
Kuambil pensil, kain
putih dan tak lupa kubeli bunga mawar merah kesukaanku. Terkadang untuk hal yang
menggembirakan apalagi untuk hal yang memberikan kebebasan aku akan merayakannya
bersama mawar. Lalu aku memantapkan diri sambil tersenyum merasakan kemenangan
yang mulai tercium sebelum memulai semuanya. Setelah aku merasa cukup hening
untuk berteriak menang, ku robek jaring laba-laba di selangkanganku dengan
pensil yang selanjutnya kugunakan untuk mengerjakan soal ujian nasional 1
minggu setelahnya. Darah menetes disehelai kain putih yang telah aku siapkan.
Tak menyangka segala aturan yang begitu ketat yang harus bertahun-tahun
kupatuhi dan benar-benar menjadikanku sebagai gadis pingitan hanya disebabkan
oleh beberapa tetes darah ini saja. benar-benar gila.
Aku yakin aku masih
memiliki kehormatan dan akan mampu menjaga kehormatan diriku dan keluargaku tanpa
jaring laba-laba yang membuatku terpenjara.
Manipulasi
identitas
Setelah terbebas dari
penjara kehormatan, aku mulai mencoba memberontak untuk tidak mau lagi jadi
gadis pingitan. Aku harus melihat dunia dan melakukan apa saja yang ingin aku kerjakan.
Walaupun bipolar belum tersembuhkan dan bahkan belum ketahuan kalau ternyata
aku salah satu pesakitannya.
Aku mulai merokok untuk
memberikan identitas baru bahwa aku bukan gadis pingitan manja yang harus
dikawal satpam kemana-mana. Aku mulai sering begadang agar merasakan seperti
apa nikmatnya kehidupan malam. Dengan alkohol, ekstasi, dan ganja yang
memabukkan aku menemukan identirtas baru yang melegakan sebagai seorang gadis
ranum yang memberontak.
Namun keadaan menjadi
semakin kacau karena trauma yang aku pendam bertahun-tahun yang tak pernah
kuungkapkan pada siapapun, yang aku alami pada masa kecilku, membuatku semakin
hanyut dan terlarut pada narkotika, alkohol dan nikotin. Aku kecanduan.
Semua perlahan-lahan
mulai menggrogoti tubuh, otakku, dan yang paling parah adalah aku tak lagi
punya uang untuk terus menyuplai tubuhku dengan kenikmatan semu saat sakau
mulai memaksaku untuk membeli. Aku tak punya apa-apa saat berbohong pada orang
tua untuk mendapatkan uang saku tambahan
yang jumplahnya naik lebih dari 100% dari jumlah seharusnya tak
dipercaya lagi. Aku hanya bisa berhutang pada teman-teman. Namun, karena
lama-lama tak sanggup membayar,aku pun kebingungan. Bahkan dengan tubuh yang
semakin kurus mengering dan saku yang kering, aku harus tetap memikirkan cara
melunasi hutang-hutangku.
Sempat terpikir untuk
menjual diri. Namun, karena tak ingin membentuk identitas baru yang lebih buruk
aku tak jadi melakukannya. Kuputuskan untuk berhenti sebagai pecandu meski
begitu berat dan terlampau menyakitkan. Lalu aku mulai bekerja part time untuk
melunasi hutang-hutangku.
Aku menyadari jalan
yang aku pilih untuk memanipulasi identitas sebagai gadis pingitan adalah suatu
kesalahan besar. Aku mulai belajar untuk berubah. Segala trauma dan
kesakitan-kesakitanku aku terapi sendiri melalui gerak tubuhku. Aku selalu
yakin semua orang bisa menari.
Menari adalah wujud
kepercayaan diri pada tubuh untuk berbicara lepas bahkan untuk tertawa lalu
menangis.
Sekarang aku tak ingin
memanipulasi identitasku lagi. Biarlah aku menjadi aku yang apa adanya. Ya, aku
perempuan tanpa jaring laba-laba, aku mantan pecandu narkoba, aku bipolar, pemberontak
kecil, namun semua itu kini hanya cerita. Sekarang, aku memiliki harapan untuk
hidup, bertahan dan terus berkarya.
Pati, 29 September 2012
No comments:
Post a Comment