Friday, October 12, 2012

Waktu dan Cerita



Tanpa kita menyadari, banyak hal yang terjadi lewat begitu saja.waktu adalah perekam peristiwa, dan kita mengabaikannya. Kita menjadi manusia-manusia yang mudah lupa dan menganggap itu adalah hal yang wajar karena setiap orang juga melakukannya. Kita menonton film di bioskop lalu melupakannya. Kita duduk diatas bangku dan memandang lampu-lampu kota lalu melupakannya. Kita berciuman lalu melupakannya. Kita berjalan lalu melupakannya. Kita bernafas lalu melupakannya. Kita bercerita lalu melupakannya.

Manusia harus kembali pada alam kesadarannya. Manusia harus terlatih untuk merekam dan mengingat keberadaannya. Ia harus sadar pada tubuhnya. Ia harus sadar pada memori-memori yang terekam oleh setiap anggota tubuh. Jempol kaki harus tetap ingat tahi ayam yang diinjaknya. Telapak tangan harus tetap ingat dinginnya gelas yang ia genggam. Kulit harus ingat panasnya matahari dan dinginnya air hujan yang menyetubuhinya. Manusia akan dianggap sebagai manusia jika ia sadar akan keberadaannya dan sadar akan dirinya
.

Kini di era modern, Yoga menjadi populer. Dengan yoga manusia merasa akan mampu mengenali tubuhnya. Namun kita menyalah pahami seluruh konsep yoga.  Yoga menjadi sekadar seni menekuk-nekuk tubuh, lantas dikaitkan dengan kecantikan, seksualitas, kebugaran tubuh dan sebagainya. Padahal yoga adalah latihan untuk mengingatkan kembali manusia pada alam kesadarannya. Manusia harus sadar akan dirinya. Manusia harus sadar akan tubuhnya. dan manusia harus sadar untuk tetap  menjaga ingatannya  berada dalam alam kesadarannya.
Peristiwa harus kita ingat (sebaik ataupun seburuk apapun) kita tak perlu melupakannya. Itulah perjalanan kita. Perjalanan dalam mengecap kehidupan. Perjalanan yang merupakan proses pembelajaran untuk menjadi manusia seutuhnya. manusia yang seimbang antara tubuh, jiwa dah roh.  
Terkadang waktu membawa kita untuk merefleksi diri. Walaupun setiap individu memiliki kenyamanan waktu yang berbeda untuk merasakan getaran nurani dan untuk menyadari setiap peristiwa yang telah dilaluinya. Mencoba telanjang dihadapan Tuhan, mengungkap segala hal yang menjadi keresahan karena tak selaras dengan nurani atau untuk mensyukuri bahwa ia tetap berjalan selaras dengan nuraninya.

Kita bisa tersungkur sendirian lalu mulai meneteskan air mata sepuasnya karena merasa telah melakukan hal yang salah. Atau dengan bantuan alkohol kita bisa leluasa untuk bercerita mengungkap semua peristiwa dalam ketidak sadaran.  Atau kita akan bercerita ramai-ramai saling membuat pengakuan dosa bersama teman-teman entah akhirnya mereka akan mengutuki kita atau tetap akan menerima kita sebagai sahabat setelah kita selesai bercerita dan menjadi lega karena tak menanggungnya seorang diri. Mungkin kita bisa bercerita dan berkisah dengan bangga jika apa yang kita lakukan, kita sadari sebagai hal yang benar dan mungkin menjadi kisah inspiratif jika kita bagikan kepada orang lain. Namun, tak jarang juga kita menjadi sedih, menitikkan air mata, dan merasa malu ketika kita bercerita pada orang lain. Tetapi jika kita menyadari apa yang kita bagi dengan segala kejujuran entah itu kisah yang menyenangkan,memperihatinkan, kejam, ataupun yang menyedihkan itu akan tetap menjadi kisah pengajaran bagi orang lain tanpa kita berusaha untuk menggurui. Dan waktulah yang menjadi saksi semuanya, dengan tetap diam dan menerima segala kisah, cerita, dan peristiwa.

Bersama teman-temanku anggota gank “Wanita Bebas Tanpa Selaput Dara” (WBTSD) rutin membagi kisah reflektif tubuh dan diri setiap maghrib, atau saat jingganya senja mulai menghilang ditelan gelapnya malam. Entah mengapa kita nyaman merefleksi diri di jam-jam itu. Akupun masih tak mengerti apa ada hubungannya atara waktu dan cerita.Namun, aku mencoba menyadari dengan mengingat setiap peristiwa yang terjadi dan menjadi yakin bahwa keajegan waktu ini menjadi bukti bahwa waktu memiliki andil penting untuk memberi kenyamanan pada tubuh untuk melihat kedalam diri secara telanjang.

Di siang hari saat kuliah karena bosan mendengarkan ceramah dosen yang panjang lebar namun sebenarnya sudah tertulis dan sama persis dengan apa yang ada di buku, kami (WBTSD) akhirnya justru bercerita tentang pengalaman kita bersama laki-laki. Atau menggosip soal teman lain diluar kelompok  dengan membumbui lada dan garam supaya kisah itu semakin sedap dilidah dan ditelinga. Kemudian usai kuliah kita ramai-ramai makan ditempat yang ramai makhluk-makhluk bernama lelaki. Disana akan memakan waktu sampai sore untuk sekedar mengamati laki-laki yang datang dan pergi.  Kemudian membicarakannya seperti makan popcorn di bioskop. Begitu mudah dan ringan. Bahkan saat imajinasi kita tiba pada urusan ranjang. Semua menjadi asik dibicarakan tanpa kita menyadari waktu menjadi cepat berlalu hanya untuk membicarakan laki-laki. Aku sebenarnya tak terlalu nyaman dalam kelompok ini. Dan jarang ikut bersuara. Namun, aku hanya butuh kisah dan cerita. Ku siapkan telinga untuk mendengar karena sebuah keyakinan : aku belajar!

Tiba waktu yang paling aku tunggu-tunggu. Yaitu saat senja mulai tua. Tiba-tiba teman-temanku menjadi sendu. Dan selalu begitu. Setibanya di kos-kosan, mereka akan tergeletak dikasur atau dilantai tanpa karpet. Lalu satu persatu akan memulai ritus pengakuan dosanya. Mereka bercerita setiap permasalahan individu masing-masing, seakan-akan keceriaan tadi siang hingga sore hanyalah fase untuk menipu diri dengan senyuman dan olah raga bibir padahal sebenarnya banyak masalah yang sedang ditanggungnya. Lalu senja seperti ini aku baru menemukan teman-temanku yang jujur. Teman-temanku yang tak memakai topeng senyuman atau topeng raksasa bertaring panjang. Semua tampak apa adanya. Satu persatu melucuti pakaiannya, menghapus make-up diwajahnya, mengurai rambutnya dan menjelma pribadi-pribadi yang apa adanya.

Aku terus menyimak setiap kisah dan pengakuan dosa serta penyesalan teman-temanku. Aku hanya memeluk temanku yang membutuhkan pelukan tanpa berniat memotong cerita mereka. Aku biarkan mereka berkisah dan mengaku dosa. Kemudian aku akan segera mengingatkan mereka untuk bersembahyang ketika waktunya telah tiba, dan panggilan telah terdengar.  Entah, mereka menjadi bersemangat bertemu dengan Tuhan usai mereka bercerita. Ada kelegaan yang nampak pada mata-mata kecil yang membuatku takjub. Dan selalu begitu. Seperti ada dosa yang ikut luntur ketika cerita hanyut terbawa air mata.

Kemudian saat malam kita berpisah. Teman-temanku memiliki jadwal mereka sendiri-sendiri. Ada yang langsung pulang ke kos masing-masing (belajar/tertidur), ada yang langsung pacaran (bercinta/sekedar melepas kerinduan dengan bepelukan), ada yang bekerja part time di rumah-rumah karaoke, atau aku yang sembunyi dibawah kolong tempat tidurku.

Mereka akan terbangun menjelang siang karena rata-rata mengakhiri malam dengan alkohol yang selalu mereka anggap sebagai obat penenang dan obat tidur yang paling mujarab yang akan menghantarkan kita pada mimpi-mimpi indah dan panjang. Lalu semua berulang lagi, berulang dan terus berulang hingga 3 tahun lebih aku bersama mereka.

Sedangkan aku memiliki ritusku sendiri. Waktu untukku mereflekesi diri adalah sebelum memejamkan mata dan terlelap. Aku akan betah berlama-lama di kolong ranjang dengan bermacam imajinasi tentang banyak hal. Aku temukan banyak sekali keajaiban di kolong ranjangku yang gelap namun bewarna. Aku melihat pelangi, terumbu karang, bintang, hutan cemara di kolong ranjangku. Itu tempat bersembunyi dan berimajinasi paling mengasyikan saat dunia membutuhkan kita untuk menjadi pecandu kenikmatan-kenikmatan semu yang tak ada habisnya. Kemudian saat imajinasiku selesai dan mengembalikan kesadaranku pada ruang gelap di bawah kasur aku akan segera naik ke atas ranjang kemudian melihat langit-langit, lalu mulai memejamkan mata dan membongkar seluruh kotak memori peristiwa dalam otakku atas apa yang aku tangkap, aku rekam, aku lakukan sepanjang hari. Introspeksi diri berharap hari esok akan lebih baik lagi. Lalu aku terlelap dan bermimpi.

No comments:

Post a Comment