Monday, September 10, 2012

Kencan Pertama dengan Huruf


Ibuku sering bercerita katanya dulu selalu memarahiku karena aku malas sekolah di Taman Kanak-Kanak. Setiap disuruh berangkat sekolah pasti aku malah pura-pura tidur. Nenekku yang sangat memanjakanku justru memarahinya.
Aku ingat alasanku malas sekolah dulu karena aku benci dengan angka. Aku senang menyanyi. Aku senang ketika disuruh menyanyikan lagu 1 ditambah 1 sama dengan 2, 2 ditambah 2 sama dengan 4, 4 ditambah 4 sama dengan 8, 8 ditambah 8 sama dengan 16.  Namun, aku menjadi benci ketika disuruh berhitung dan bukan menyanyi. Mulai dari menghitung jari tangan. Lalu guruku mulai mengeluarkan gambar angka-angka bewarna. Awalnya aku mencoba menikmatinya. Menikmati gambar angka 1 yang seperti lilin, gambar angka 2 yang seperti bebek, dan gambar angka 3 yang seperti monyet. Memang kebiasaanku sedikit aneh, tapi aku suka menghubungkan segala sesuatu dengan imajinasiku yang lain.

Lalu tibalah saat-saat aku membenci angka. Ketika itu guruku mulai mengajari hitung-hitungan dasar. Seperti 1+1=2, 2+2= 4, 1+2=3 dan aku tidak bisa. Aku bisa tambah-tambahan hanya yang ada di lagu.lalu ketika tambah-tambahan itu tidak ada dilirik lagu kesukaanku, aku jadi bingung dan tidak bisa menjawab.
Karena takut dipermalukan dikelas, di ejek teman-teman, aku jadi takut ke sekolah. Padahal aku dulu yang merengek-rengek pada orang tuaku untuk masuk sekolah karena tetanggaku-tetanggaku yang usianya memang terpaut jauh dariku sudah bersekolah. Dan umurku masih 3 tahun lebih sedikit saat merengek masuk TK. Banyak sekolah TK yang menolakku saat itu, karena umurku kurang. Dan saat itu belum ada playgroup seperti sekarang. Namun aku terus merengek ingin sekolah dan harus sekolah. Untung ada salah satu teman baik ayahku yang jadi kepala sekolah TK, akhirnya aku diterima di TK itu.
Karena tak mau sekolah lagi, akhirnya aku sering ikut ibuku ke kantornya. Menungguinya bekerja sambil bermain boneka. Kadang ada beberapa teman ibuku yang menggodaku lalu mengajakku bercerita. Dari kecil aku senang bercerita dan mendengarkan cerita. Imajinasiku tentang peri, malaikat, pangeran dan putri dengan istana mewah begitu kuat. Ibuku sering mendongengiku sebelum aku beranjak tidur. Tapi ibuku tak pernah membacakan aku buku cerita, dia bercerita dengan khayalannya sendiri. Kadang kalau ibukuku tak bisa mendongengiku maka tugasnya akan digantikan oleh nenekku. Dengan senang hati dia akan bercerita dongeng-dongeng jawa seperti andhe-andhe lumut, klething kuning, hingga sampek eng thai yang dirubah latar dan suasananya menjadi cerita jawa. Nenekku bercerita sambil mengelus rambutku. Dan sekali lagi semua mereka ceritakan tanpa teks. Aku jadi terampil berbicara namun tak bisa membaca, menulis, berhitung dan tetap tak mau sekolah.
Orangtuaku terus membujukku agar aku mau sekolah lagi, terutama ayahku. Tapi aku tetap tak mau. Mereka tak akan pernah berhasil membujukku. Sudah lama tak masuk sekolah aku dikeluarkan dari TK. Mungkin hanya akulah yang bersyukur saat itu, kedua orangtuaku sangat malu, karena dulu mereka yang terus memohon pada kepala sekolah untuk mau menerimaku.
Tapi tak sekolah lama-lama juga membuatku bosan. Apalagi dirumah aku tak punya teman saat pagi hari. Semua tetanggaku bersekolah, kakak laki-lakiku juga sekolah, kedua orangtuaku juga pergi ke kantor, dan parahnya mereka berdua tak mau mengajakku ke kantornya lagi setiap hari. Jadi, aku harus menunggu dirumah bersama nenekku. Lama-lama aku bosan dan minta sekolah lagi.
Kemudian aku didaftarkan di TK yang baru. Kepala sekolah mengetesku untuk bercerita didepannya sebagai tes masuk sekolah. Tes itu terlalu mudah bagiku. Aku bisa betah bercerita berjam-jam tanpa kehilangan inspirasi, karena ayahku sering mengajakku jalan-jalan dan diatas motornya ia menceritakan segala sesuatu yang kami lihat di jalan. Kemudian tes kedua aku disuruh menyebutkan angka-angka. Aku langsung memeluk ibuku. Aku tak mau menjawab satu pun pertanyaannya. soal tes diganti. Aku disuruh menyanyi. Langsung aku menyanyi lagu-lagu kesukaanku, bahkan sambil aku menari mengerakkan tangan dan pinggulku.
Akhirnya aku diterima di TK itu. Tanpa tes membaca. Mungkin sekarangpun aku heran mengapa masuk TK tidak diharuskan bisa membaca dan mengenal huruf padahal harus bisa mengenal angka. Apa angka lebih penting dari huruf? atau karena angka lebih mudah dimengerti anak-anak kecil daripada huruf? Dan yang pasti aku tak suka angka.
Di TK yang baru ada seorang guru yang sangat baik padaku. Namanya ibu titin. Bahkan setelah 16 tahun tak di ajar lagi oleh beliau, aku masih mengingat jelas namanya. Karena rumah ibu itu satu perumahan denganku. Aku sering berkunjung ke rumahnya usai jam sekolah untuk mendengarkan dia mendongeng. Dan ada yang beda. Dia mendongengiku dengan menggunakan buku cerita yang bergambar.
Aku duduk dipangkuannya dan ikut melihat kedalam buku cerita yang bergambar itu. Ibu titin membacakan ceritanya untukku dengan jari telunjukknya menunjuk satu persatu huruf dalam tulisan itu. Aku takjub melihat deretan-deretan huruf yang benar-benar baru dimataku mampu menciptakan sebuah cerita yang benar-benar indah di telingaku. Aku terus memperhatikan deretan huruf-huruf itu sambil mendengarkan ibu titin bercerita. Dan ritus itu selalu aku ulang setiap hari sepulang sekolah TK. Di sekolah aku jarang mendapatkan kesempatan dipangku olehnya sambil dibacakan cerita. Jadi, aku mencarinya ke rumah. Aku akan menunggunya di teras jika dia tidak ada di dirumah dan tak mau pulang sebelum dibacakan buku cerita.
Kemudian di suatu siang ketika aku sedang di rumahnya, ibu titin mengeluarkan kertas-kertas seukuran kartu remi. Saat itu aku takut karena kukira bu titin mengeluarkan musuh bebuyutanku: Angka! Tapi ternyata aku salah, kertas itu bertuliskan huruf kapital dan huruf kecil bewarna-warni. Ibu titin mengajakku mengenal huruf. Aku sudah lama takjub dengan huruf ketika melihatnya dibuku cerita  bu titin. Dan siang ini aku berkesempatan melihatnya lebih dekat lagi, bahkan aku bisa memegangnya sendiri dengan telunjukku. Biasanya telunjuk bu titin yang selalu menelusuri huruf-huruf dibuku cerita. Inilah kencan pertamaku dengan huruf. Aku bisa memegangnya dengan tanganku, walaupun sambil di awasi ibu titin. yah, kencan bertiga, itu istilah sekarangnya.
Dengan sangat antusias aku mengikuti bunyi-bunyi pengucapan huruf dari bu titin. aku tak mau pulang dari rumahnya saat itu sebelum aku menyelesaikan dan mengerti benar nama-nama huruf di kartu-kartu itu. Setelah ibu titin menyebutkan semua nama-nama huruf sampai selesai aku masih tak mau beranjak pulang. Aku takut kalau aku lupa lagi. Aku belum benar mengenal huruf itu. Aku belum hafal seperti apa lekuk-lekuk tubuhnya dan siapa namanya. Kemudian ibu titin memperbolehkanku membawa kartu-kartu itu pulang, saat itu aku tak percaya kalau ibuku bisa mengajariku mengenal huruf, jadi aku menolak dan tetap bertahan dirumah bu titin. kemudian ibu titin meyakinkanku kalau ibuku juga bisa membantuku untuk mengenal huruf-huruf itu. Dan akhirnya aku pasrah untuk pulang, karena saat itu orangtuaku sudah menjemputku.
Kugenggam erat kartu-kartu itu ditanganku. Aku tak mau menaruhnya dalam tas. Aku tak ingin pula orang lain membantuku memegangnya. Kemudian dirumah aku langsung memaksa ibuku untuk membantu menyebutkan nama-nama huruf itu. Itulah kali pertama aku mengenalkan kekasihku pada ibuku. Aku benar-benar jatuh cinta pada huruf-huruf yang setelah dirangkai berjajar bisa menjadi cerita yang menarik seperti pada buku cerita bu titin. aku benar-benar mencintai huruf.
Semalaman aku tak mau berpisah dengan kartu-kartu huruf itu. Aku terus melihatnya dan memandanginya satu persatu sambil terus mengingat nama-nama mereka. Dan ketika tertidur, mereka tetap disampingku. Aku memeluknya dengan tanganku. Aku tak ingin berpisah sampai kapanpun.
Itulah kencan pertamaku dengan huruf. Dan setelah itu aku mulai belajar menulisnya. Merangkainya per suku kata. Dan aku mengejanya B U BU K U KU = buku. B O BO L A LA = bola. Ibuku dan bu titin terus membantuku dan melatihku membaca. Hingga aku mulai bisa tanpa mengeja persuku kata. Aku terus membaca apa saja. aku tak lagi minta dibelikan boneka pada orangtuaku, aku minta dibelikan buku cerita. Dan aku terus membaca. Aku bisa membaca kata tanpa mengeja hingga fasih membaca kalimat. Ketika berjalan-jalan dengan ayahku diatas motor, aku membaca seluruh tulisan yang ada dijalan. Plang-plang nama toko, semua aku baca. Bungkus permen dan jajanan yang ada tulisannyapun aku baca. Aku mulai pacaran serius dengan huruf, kata, frase, klausa dan kalimat.
Aku benar-benar mencintainya. Dan setiap malam aku selalu berkencan dengannya. Aku membaca buku pelajaran, buku cerita, majalah-majalah ibu, koran-koran ayah, aku baca. Walaupun saat aku kecil aku tak memahami makna tulisan yang aku baca yang terkadang diluar jangkauan imajinasiku, tapi aku tetap suka. Aku suka huruf. Dan aku suka membaca. Dan saat usiaku bertambah, akupun mampu mengkap makna tulisan-tulisan yang aku baca. Aku mengenalnya lebih dalam. Aku dan huruf akhirnya bertunangan dan menikah. Kini aku mulai mempunyai anak darinya. Aku mampu menulis dan membuat dongeng-dongengku sendiri bersama suamiku: huruf.

IMANIAR YORDAN CHRISTY
Mahasiswa UNNES-
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

No comments:

Post a Comment