Ibuku
sering bercerita katanya dulu selalu memarahiku karena aku malas sekolah di
Taman Kanak-Kanak. Setiap disuruh berangkat sekolah pasti aku malah pura-pura
tidur. Nenekku yang sangat memanjakanku justru memarahinya.
Aku
ingat alasanku malas sekolah dulu karena aku benci dengan angka. Aku senang
menyanyi. Aku senang ketika disuruh menyanyikan lagu 1 ditambah 1 sama dengan 2,
2 ditambah 2 sama dengan 4, 4 ditambah 4 sama dengan 8, 8 ditambah 8 sama dengan
16. Namun, aku menjadi benci ketika
disuruh berhitung dan bukan menyanyi. Mulai dari menghitung jari tangan. Lalu
guruku mulai mengeluarkan gambar angka-angka bewarna. Awalnya aku mencoba
menikmatinya. Menikmati gambar angka 1 yang seperti lilin, gambar angka 2 yang
seperti bebek, dan gambar angka 3 yang seperti monyet. Memang kebiasaanku
sedikit aneh, tapi aku suka menghubungkan segala sesuatu dengan imajinasiku
yang lain.
Lalu
tibalah saat-saat aku membenci angka. Ketika itu guruku mulai mengajari
hitung-hitungan dasar. Seperti 1+1=2, 2+2= 4, 1+2=3 dan aku tidak bisa. Aku
bisa tambah-tambahan hanya yang ada di lagu.lalu ketika tambah-tambahan itu
tidak ada dilirik lagu kesukaanku, aku jadi bingung dan tidak bisa menjawab.
Karena
takut dipermalukan dikelas, di ejek teman-teman, aku jadi takut ke sekolah.
Padahal aku dulu yang merengek-rengek pada orang tuaku untuk masuk sekolah
karena tetanggaku-tetanggaku yang usianya memang terpaut jauh dariku sudah
bersekolah. Dan umurku masih 3 tahun lebih sedikit saat merengek masuk TK.
Banyak sekolah TK yang menolakku saat itu, karena umurku kurang. Dan saat itu
belum ada playgroup seperti sekarang. Namun aku terus merengek ingin sekolah
dan harus sekolah. Untung ada salah satu teman baik ayahku yang jadi kepala
sekolah TK, akhirnya aku diterima di TK itu.
Karena
tak mau sekolah lagi, akhirnya aku sering ikut ibuku ke kantornya. Menungguinya
bekerja sambil bermain boneka. Kadang ada beberapa teman ibuku yang menggodaku
lalu mengajakku bercerita. Dari kecil aku senang bercerita dan mendengarkan
cerita. Imajinasiku tentang peri, malaikat, pangeran dan putri dengan istana
mewah begitu kuat. Ibuku sering mendongengiku sebelum aku beranjak tidur. Tapi
ibuku tak pernah membacakan aku buku cerita, dia bercerita dengan khayalannya
sendiri. Kadang kalau ibukuku tak bisa mendongengiku maka tugasnya akan
digantikan oleh nenekku. Dengan senang hati dia akan bercerita dongeng-dongeng
jawa seperti andhe-andhe lumut, klething
kuning, hingga sampek eng thai yang
dirubah latar dan suasananya menjadi cerita jawa. Nenekku bercerita sambil
mengelus rambutku. Dan sekali lagi semua mereka ceritakan tanpa teks. Aku jadi
terampil berbicara namun tak bisa membaca, menulis, berhitung dan tetap tak mau
sekolah.
Orangtuaku
terus membujukku agar aku mau sekolah lagi, terutama ayahku. Tapi aku tetap tak
mau. Mereka tak akan pernah berhasil membujukku. Sudah lama tak masuk sekolah
aku dikeluarkan dari TK. Mungkin hanya akulah yang bersyukur saat itu, kedua
orangtuaku sangat malu, karena dulu mereka yang terus memohon pada kepala
sekolah untuk mau menerimaku.
Tapi
tak sekolah lama-lama juga membuatku bosan. Apalagi dirumah aku tak punya teman
saat pagi hari. Semua tetanggaku bersekolah, kakak laki-lakiku juga sekolah,
kedua orangtuaku juga pergi ke kantor, dan parahnya mereka berdua tak mau
mengajakku ke kantornya lagi setiap hari. Jadi, aku harus menunggu dirumah
bersama nenekku. Lama-lama aku bosan dan minta sekolah lagi.
Kemudian
aku didaftarkan di TK yang baru. Kepala sekolah mengetesku untuk bercerita
didepannya sebagai tes masuk sekolah. Tes itu terlalu mudah bagiku. Aku bisa
betah bercerita berjam-jam tanpa kehilangan inspirasi, karena ayahku sering
mengajakku jalan-jalan dan diatas motornya ia menceritakan segala sesuatu yang
kami lihat di jalan. Kemudian tes kedua aku disuruh menyebutkan angka-angka.
Aku langsung memeluk ibuku. Aku tak mau menjawab satu pun pertanyaannya. soal
tes diganti. Aku disuruh menyanyi. Langsung aku menyanyi lagu-lagu kesukaanku,
bahkan sambil aku menari mengerakkan tangan dan pinggulku.
Akhirnya
aku diterima di TK itu. Tanpa tes membaca. Mungkin sekarangpun aku heran
mengapa masuk TK tidak diharuskan bisa membaca dan mengenal huruf padahal harus
bisa mengenal angka. Apa angka lebih penting dari huruf? atau karena angka
lebih mudah dimengerti anak-anak kecil daripada huruf? Dan yang pasti aku tak
suka angka.
Di
TK yang baru ada seorang guru yang sangat baik padaku. Namanya ibu titin.
Bahkan setelah 16 tahun tak di ajar lagi oleh beliau, aku masih mengingat jelas
namanya. Karena rumah ibu itu satu perumahan denganku. Aku sering berkunjung ke
rumahnya usai jam sekolah untuk mendengarkan dia mendongeng. Dan ada yang beda.
Dia mendongengiku dengan menggunakan buku cerita yang bergambar.
Aku
duduk dipangkuannya dan ikut melihat kedalam buku cerita yang bergambar itu.
Ibu titin membacakan ceritanya untukku dengan jari telunjukknya menunjuk satu
persatu huruf dalam tulisan itu. Aku takjub melihat deretan-deretan huruf yang
benar-benar baru dimataku mampu menciptakan sebuah cerita yang benar-benar indah
di telingaku. Aku terus memperhatikan deretan huruf-huruf itu sambil
mendengarkan ibu titin bercerita. Dan ritus itu selalu aku ulang setiap hari
sepulang sekolah TK. Di sekolah aku jarang mendapatkan kesempatan dipangku
olehnya sambil dibacakan cerita. Jadi, aku mencarinya ke rumah. Aku akan
menunggunya di teras jika dia tidak ada di dirumah dan tak mau pulang sebelum
dibacakan buku cerita.
Kemudian
di suatu siang ketika aku sedang di rumahnya, ibu titin mengeluarkan
kertas-kertas seukuran kartu remi. Saat itu aku takut karena kukira bu titin
mengeluarkan musuh bebuyutanku: Angka! Tapi ternyata aku salah, kertas itu
bertuliskan huruf kapital dan huruf kecil bewarna-warni. Ibu titin mengajakku
mengenal huruf. Aku sudah lama takjub dengan huruf ketika melihatnya dibuku
cerita bu titin. Dan siang ini aku
berkesempatan melihatnya lebih dekat lagi, bahkan aku bisa memegangnya sendiri
dengan telunjukku. Biasanya telunjuk bu titin yang selalu menelusuri
huruf-huruf dibuku cerita. Inilah kencan pertamaku dengan huruf. Aku bisa
memegangnya dengan tanganku, walaupun sambil di awasi ibu titin. yah, kencan
bertiga, itu istilah sekarangnya.
Dengan
sangat antusias aku mengikuti bunyi-bunyi pengucapan huruf dari bu titin. aku
tak mau pulang dari rumahnya saat itu sebelum aku menyelesaikan dan mengerti
benar nama-nama huruf di kartu-kartu itu. Setelah ibu titin menyebutkan semua
nama-nama huruf sampai selesai aku masih tak mau beranjak pulang. Aku takut
kalau aku lupa lagi. Aku belum benar mengenal huruf itu. Aku belum hafal
seperti apa lekuk-lekuk tubuhnya dan siapa namanya. Kemudian ibu titin
memperbolehkanku membawa kartu-kartu itu pulang, saat itu aku tak percaya kalau
ibuku bisa mengajariku mengenal huruf, jadi aku menolak dan tetap bertahan
dirumah bu titin. kemudian ibu titin meyakinkanku kalau ibuku juga bisa
membantuku untuk mengenal huruf-huruf itu. Dan akhirnya aku pasrah untuk
pulang, karena saat itu orangtuaku sudah menjemputku.
Kugenggam
erat kartu-kartu itu ditanganku. Aku tak mau menaruhnya dalam tas. Aku tak
ingin pula orang lain membantuku memegangnya. Kemudian dirumah aku langsung
memaksa ibuku untuk membantu menyebutkan nama-nama huruf itu. Itulah kali
pertama aku mengenalkan kekasihku pada ibuku. Aku benar-benar jatuh cinta pada
huruf-huruf yang setelah dirangkai berjajar bisa menjadi cerita yang menarik
seperti pada buku cerita bu titin. aku benar-benar mencintai huruf.
Semalaman
aku tak mau berpisah dengan kartu-kartu huruf itu. Aku terus melihatnya dan
memandanginya satu persatu sambil terus mengingat nama-nama mereka. Dan ketika
tertidur, mereka tetap disampingku. Aku memeluknya dengan tanganku. Aku tak
ingin berpisah sampai kapanpun.
Itulah
kencan pertamaku dengan huruf. Dan setelah itu aku mulai belajar menulisnya.
Merangkainya per suku kata. Dan aku mengejanya B U BU K U KU = buku. B O BO L A
LA = bola. Ibuku dan bu titin terus membantuku dan melatihku membaca. Hingga
aku mulai bisa tanpa mengeja persuku kata. Aku terus membaca apa saja. aku tak
lagi minta dibelikan boneka pada orangtuaku, aku minta dibelikan buku cerita.
Dan aku terus membaca. Aku bisa membaca kata tanpa mengeja hingga fasih membaca
kalimat. Ketika berjalan-jalan dengan ayahku diatas motor, aku membaca seluruh
tulisan yang ada dijalan. Plang-plang nama toko, semua aku baca. Bungkus permen
dan jajanan yang ada tulisannyapun aku baca. Aku mulai pacaran serius dengan
huruf, kata, frase, klausa dan kalimat.
Aku
benar-benar mencintainya. Dan setiap malam aku selalu berkencan dengannya. Aku
membaca buku pelajaran, buku cerita, majalah-majalah ibu, koran-koran ayah, aku
baca. Walaupun saat aku kecil aku tak memahami makna tulisan yang aku baca yang
terkadang diluar jangkauan imajinasiku, tapi aku tetap suka. Aku suka huruf.
Dan aku suka membaca. Dan saat usiaku bertambah, akupun mampu mengkap makna
tulisan-tulisan yang aku baca. Aku mengenalnya lebih dalam. Aku dan huruf
akhirnya bertunangan dan menikah. Kini aku mulai mempunyai anak darinya. Aku
mampu menulis dan membuat dongeng-dongengku sendiri bersama suamiku: huruf.
IMANIAR YORDAN CHRISTY
Mahasiswa UNNES-
Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia
No comments:
Post a Comment